31 Desember 2008
Catatan yang (mungkin) tak terlupakan di tahun 2008
Alhamdulillah setelah 4 tahun bekerja akhirnya pada bulan September bisa kuliah lagi. Masuk di jurusan Kimia UNJANI kelas ekstensi, bisa nambah ilmu juga teman.
Cape mah biasa, nu penting mah usaha, Oke coy??
Kadua, hehe.. motor lunas euy.
My first bike akhirnya bisa menjadi utuh atas namaku, setelah 3 tahun nyicil (maklumlah pas-pasan). alhamdulillah masih di bulan September pertengahan, jadi duit gajian fokus jang kuliah. hehehe.........
OKE, Selamat datang 2009, bersiaplah mewujudkan mimpi-mimpiku selanjutnya, kan kusambut kau dengan suka cita.
Terima kasih Ya ALLAH.
Palestina Menangis (lagi)
Apa yang bisa dilakukan PBB selaku organisasi keamanan, kedaulatan negara-negara didunia, hanya bisa mengecam & mengutuk saja, tidak bisa bertindak dengan tegas. Begitu juga dengan negara-negara arab di timur tengah seakan-akan tidak bisa berkutik dengan kekejaman Israel sang Jewish.
Hal ini diperparah dengan rusaknya Rumah Sakit, Sekolah, Perantren, bahkan Masjid, padahal perusakan terhadap layanan umum dikala terjadi konflik dilarang keras oleh PBB yang tidak bisa berbuat banyak itu.
Selain itu jalur-jalur distribusi bantuan dari negara-negara yang peduli terhadap penderitaan rakyat Palestina tidak bisa masuk dengan lancar ke wilayah konflik tersebut.
Lalu bagaimana sikap kita harus menanggapinya terhadap penderitaan saudara-saudara kita itu?
Juga bagaimanakah sikap Pemerintah kita?
28 Desember 2008
THE KITE RUNNER
Aku memiliki satu kesempatan terakhir untuk mengambil keputusan,
untuk menentukan apa jadinya diriku.
Aku bisa melangkah memasuki gang itu,
membela Hassan dan menerima apa pun yang mungkin menimpaku.
Atau aku bisa melarikan diri.
Akhirnya, aku melarikan diri.
Amir telah mengkhianati Hassan, satu-satunya sahabatnya. Saudaranya. Rasa bersalah menghantuinya. Menyingkirkan Hassan dari kehidupannya adalah satu-satunya pilihan yang ada. Namun setelah Hassan pergi, tak ada lagi yang tersisa dari masa kecilnya. Seperti layang-layang putus, sebagian dari dirinya terbang bersama angin. Tetapi, masa lalu yang telah terkubur dalam-dalam pun senantiasa menyeruak kembali. Hadir membawa luka-luka lama. Dan seperti layang-layang, tak kuasa menahan badai, Amir harus menghadapi kenangannya yang mewujud kembali.
The Kite Runner adalah sebuah kisah penuh kekuatan tentang persaudaraan, kasih sayang, pengkhianatan, dan penderitaan. Khaled Hosseini dengan brilian menghadirkan sisi-sisi lain dari Afghanistan, negeri indah yang hingga kini masih menyimpan duka. Tetapi, bahkan kepedihan selalu menyimpan kebahagiaan. Di tengah belantara puing di kota Kabul, akankah Amir menemukannya?
----------------------------------------------------------------------------------
Begitulah sinopsis yang saya baca di BukuKita.com.
Sungguh mengharukan setelah membaca buku yang sungguh menyentuh ini, membayangkan kesetiaan luar biasa yang ditunjukkan Hassan kepada Amir, dan betapa pengecutnya Amir tidak melakukan pembelaan ketika Hassan dilecehkan yang menyebabkan rasa bersalah yg begitu mendalam bahkan sampai bertahun2 meninggalkan Afghanistan. Sungguh merupakan konflik yang benar-benar kompleks, tentang sebuah persahabatan dan kesetiaan
Novel ini juga sudah dibuat filmnya dengan judul yang sama dengan bukunya.
Legenda Situ lengkong
Bermula dari Air Sumur Zam-Zam
SELAIN itu, raja-raja Panjalu dikenal memiliki kesaktian yang tinggi. Riwayat Situ Lengkong sendiri terbentuk pada masa peralihan dari Sang Prabu Sanghiang Cakradewa ke Prabu Sanghiang Borosngora. Dua raja tersebut adalah paling termasyhur dalam sejarah Panjalu. Sewaktu di puncak tahta, Prabu Cakradewa dikenal pula sebagai raja yang lebih mementingkan kerohanian daripada keduniawian. Tak heran bila rakyat Panjalu hidup aman dan tenteram.
Prabu Cakradewa
Dalam hal mendidik anaknya, Prabu Cakradewa lebih mementingkan pendidikan kerohanian. Raja menghendaki putra-putri dan rakyatnya hidup rukun, saling sayang menyayangi, dan jauh dari sifat iri dengki serta sombong. Prabu Borosngora untuk melanjutkan tahta Kerajaan Panjalu, Prabu Cakradewa menginginkan putra mahkota penggantinya adalah seorang yang sakti dengan ilmu kesejatian. Maka, sebelum tahta diserahkan kepada putra mahkota Prabu Borosngora, ia memerintahkan Prabu Borosngora untuk berkelana menuntut ilmu sejati.
Setelah berpamitan, berangkatlah Prabu Borosngora memenuhi perintah ayahnya. Bertahun-tahun ia mengembara mencari ilmu sejati. Selama dalam pengembaraan, ia banyak bertemu dengan tokoh-tokoh sakti. Kepada merekalah ia menuntut ilmu. Tapi sayang, Borosngora salah langkah. Ia bukan mempelajari ilmu sejati seperti amanat ayahnya, melainkan ilmu kekebalan. Setelah merasa cukup menguasai ilmu, kembalilah ia ke keraton untuk menemui ayahnya. Atas kehadiran anakya itu Prabu Cakradewa sangat gembira. Maka disambutlah ia dengan upacara kebesaran. Seluruh kerabat keraton serta para bangsawan dan rakyat diundang menghadiri acara tersebut.
Sebagai hiburan, digelar kesenian Debus dan Tayub. Beberapa kerabat keraton dan Prabu Borosngora turut menari. Di tengah keramaian itu, Prabu Cakradewa terkejut ketika melihat kain yang dikenakan Prabu Borosngora tersingkap. Di balik kain itu tampak jelas di betis kaki kirinya terdapat tanda hitam berupa cap Ujung Kulon. Itu menandakan bahwa orang tersebut telah mempelajari ilmu hitam dan kedugalan. Padahal Prabu Cakradewa mengharap Borosngora untuk mempelajari ilmu sejati. Yakni ilmu kerahayuan dan keselamatan lahir batin dunia dan akhirat. Melihat hal tersebut, Prabu Sanghiang Cakradewa memerintahkan seorang patih untuk memanggilnya ke keraton.
Orang Berjubah Putih
Sanghiang Cakradewa memberi petuah. Diungkap bahwa Sang Prabu punya firasat buruk. Suatu saat akan lahir suatu ilmu baru yang akan menguasai berbagai ilmu di belahan dunia. Lalu Sanghiang Prabu Cakradewa menyarankan Borosngora untuk mempelajari ilmu sejati demi kepentingan kerajaan. Dalam pencarian ilmu sejati inilah, Prabu Borosngora berkelana sampai ke Makkah. Di sana ia bertemu seorang tua berjubah putih. Dialah Sayyidina Ali ra.
Dalam pertemuan itu, Prabu Borosngora dan Sayyidina Ali sempat menjajal kedigdayaan. Namun Prabu Borosngora takluk di hadapan Sayyidina Ali. Sejak itu, ia memeluk Islam dan berguru ilmu sejati kepada Sayyidina Ali. Setelah cukup, ia kembali ke tanah airnya dengan membawa segayung air Sumur Zam-Zam. Air inilah yang menjadi cikal bakal terjadinya Situ Lengkong. Telaga keramat ketika Prabu Borosngora naik tahta, pamor Kerajaan Panjalu semakin terhormat.
Prabu Borosngora adalah raja yang tangguh, gagah, dan terampil mengelola pemerintahan. Selain ilmu kedigdayaan, ia pun menguasai ilmu sejati. Ia begitu dicintai rakyat. Dan selama mengayomi rakyatnya, tak pernah terdengar adanya perbuatan menyimpang. Selama menjadi raja, ia telah membangun telaga indah yang disebut Situ Lengkong, yang airnya berasal dari Sumur Zam-Zam. Di tengahnya ada sebuah pulau mungil bernama Nusa Gede. Di sanalah keraton Kerajaan Panjalu berdiri.
Pemandangan yang indah itu mengesankan kenyamanan bagi siapa pun yang tinggal di Panjalu. Sejalan perkembangan zaman, Kerajaan Panjalu mengalami kemunduran. Hingga lama kelamaan Panjalu hanya menjadi daerah kecamatan di sebelah utara Ciamis. Namun kemasyhuran tinggalan masa lampau masih tertanam. Pulau Nusa Gede yang dulunya keraton, kini adalah tempat dimakamkannya beberapa raja Panjalu. Sebagai tokoh yang dihormati, tak heran bila banyak yang menziarahi.
Tokoh-Tokoh Besar
Tokoh-tokoh besar seperti Gus Dur dan Megawati, konon pernah berziarah ke makam tersebut. Bahkan Gus Dur sendiri menyebut tokoh yang dimakamkan di Pulau Nusa Gede itu Kiai Panjalu, yakni Sayyit Ali bin Muhammad bin Umar. Beliau Mbah buyut ke-19 Almaghfurlah KH Mustaqim bin Husein, pendiri Pondok Pesantren PETA Tulungagung, Jatim.
Cantolan sejarah yang berkait dengan Situ Lengkong hingga kini masih ada di Panjalu. Selain makam keramat di Pulau Nusa Gede, terdapat juga Bumi Alit (museum) tempat menyimpan benda-benda pusaka Kerajaan Panjalu, serta Masjid Agung Panjalu. Menurut masyarakat setempat, berziarah ke makam keramat di tengah Situ Lengkong itu tidak boleh sembarangan.
Pernah suatu ketika, Pakubuwono VIII masuk ke Pulau Nusa Gede. Namun tiba-tiba terjadi angin puting beliung. Air danau yang tenang jadi bergelombang. Karena cuaca buruk, akhirnya niat Pakubuwono diurungkan. Setelah reda dicoba lagi. Tapi kembali cuaca mendadak menjadi buruk. Konon, Pakubuwono VIII tak pernah bisa mencapai Pulau Nusa Gede.
Sumber : http://www.geocities.com/bumialit/legendaIndonesia Surga bagi Industri Rokok | |
(telah dipublikasikan di situs web Pikiran Rakyat) |
21 Desember 2008
CINTA ?
Apalah artinya?
Jika cinta berubah menjadi
pisau......
Dan pisau berubah menjadi
tombak......
Yang dapat melukai hati dan perasaanmu
Apa itu masih bernama
CINTA......???
Seperti
Seperti nyanyi yang kau lantunkan
Seperti senyum yang kau sunggingkan
Seperti pandangan yang kau kerlingkan
Seperti cinta yang kau berikan
Aku takan pernah, takan pernah merasa cukup
dari novel "Maryamah Karkov"
19 Desember 2008
Sebuah Kata,
niat. hati. sedih. gembira. suka. duka. bahagiaku. perjuanganku.
negeriku. bumi. langit.tanah. udaraku. nafasku. peluh. getir. semangat. doa. cinta. rindu. irama. syairku. melodiku.
aku. dia. mereka. kamu.
dharmaku. suciku. guruku. dayaku.
tangisku. putih-hitamku. genggamanku. garbaku. penciumanku. jalanku. tempatku. keadaanku. kemampuanku.
16 Desember 2008
Three Cups of Tea
| |||||||||||||||||
Pencarian pada Google Book Search |
Inilah kisah menakjubkan dan inspiratif tentang Indiana Jones sejati dan perjuangan kemanusiaannya yang mengharukan di “pekarangan belakang” rezim Taliban.
Three Cups of Tea berisi mengenai kisah pemenuhan janji tersebut, beserta hasilnya yang mencengangkan. Ya, selama satu dekade berikutnya, Mortenson telah membangun tak kurang dari lima puluh satu sekolah—terutama untuk anak-anak perempuan—di lingkar terluar daerah terlarang rezim Taliban. Kisahnya adalah sebuah petualangan seru sekaligus kesaksian akan kekuatan semangat kemanusiaan.
Pada 1993, seorang perawat Amerika, Greg Mortenson, berhasrat menaklukan puncak gunung tertinggi sedunia, K2, di Himalaya. Bukan hanya gagal melaksanakan niatnya, Mortenson juga tersesat, mengalami keletihan kronis, bahkan kehilangan 15 kg bobot tubuhnya. Setelah berjalan kaki tertatih-tatih turun gunung selama tujuh hari, Mortenson yang menuju Askole, malah tiba di Korphe, desa yang bahkan tak pernah dilihatnya di peta Karakoram. Di sanalah, di gubuk Haji Ali, Mortenson dijamu dengan ramah, dirawat dengan penuh perhatian, dan dilayani bak tamu istimewa.
Di lingkungan nan miskin inilah jalan hidup Mortenson, juga jalan hidup anak-anak di Pakistan Utara, berubah. Ketika memikirkan cara membalas budi baik mereka, jantung Mortenson serasa tercerabut dan napasnya tercekat saat melihat bagaimana anak-anak di sana bersekolah: mereka duduk melingkar, berlutut di tanah yang membeku, dalam udara nan dingin, dengan tertib mengerjakan tugas. Mortenson meletakkan tangannya di pundak Haji Ali dan berkata, “Aku akan membangun sebuah sekolah untuk kalian. Aku berjanji.” Inilah kisah mengenai pemenuhan janji tersebut. Ya, selama satu dekade berikutnya, Mortenson telah membangun tak kurang dari lima puluh satu sekolah—terutama untuk anak-anak perempuan—di daerah tempat lahirnya Taliban. Kisahnya adalah sebuah petualangan seru sekaligus kesaksian akan kekuatan semangat kemanusiaan.
NOVEL GAJAH MADA 1 (Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara)
Langit Kresna Hariadi (LKH) melalui penerbit Tiga Serangkai kembali meneruskan kisah Gajah Mada dengan judul Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara, setebal 508 halaman. Plus bonus sebuah gambar berukuran A2 berisi lanskap istana Majapahit.
Dalam pengantarnya LKH menuturkan dalam buku pertamanya ada beberapa kesalahan dan kecacatan yang cukup mengganggu yang bersifat menyimpang dari sejarah. LKH menulis kisah Gajah Mada dari catatan-catatan kitab Negarakertagama, Pararaton, prasasti Sukamrta, prasasti Balawi dan bukti sejarah lainnya."Bagaskara Manjer Kawuryan? Siapakah orang yang mencoba bermain-main denganku menggunakan nama yang semestinya terkubur bersama kematian Ra Tanca?” Gajah Mada meletupkan rasa penasarannya dalam hati. Sembilan tahun sejak pemberontakan Ra Kuti, baru diketahui orang yang berada di balik nama itu adalah Ra Tanca. Setelah Ra Tanca mati, kini tiba-tiba ada orang lain yang menggunakan nama itu. Pemahaman terhadap kata sandi Bagaskara Manjer Kawuryan sangat terbatas dan nyaris terkubur oleh waktu yang telah bergerak sembilan tahun lamanya. Namun, ternyata di luar sana, entah siapa, setidaknya ada orang yang tahu makna kata sandi itu. Di balik penampilannya yang aneh, menunggang kuda putih, mengenakan jubah berwarna putih, dan menyembunyikan wajah di balik topeng, orang itu mengetahui banyak hal, mengetahui adanya kata sandi Bagaskara Manjer Kawuryan".
– Sinopsis pada halaman sampul belakang buku Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara
Dalam buku pertamanya LKH kisah Gajah Mada diakhiri pada kejadian raja Majapahit Jayanegara (dulu Kalagemet) dibunuh dengan racun oleh Ra Tanca. Ra Tanca merupakan tabib mumpuni saat itu, hingga saat pemberontakan Ra Kuti berhasil ditumpas Gajah Mada hanya Ra Tanca yang menyerahkan diri, yang akhirnya setelah 9 tahun berkesempatan meneruskan pembalasan atas kematian kelompoknya langsung kepada Jayanegara.
Buku kedua Gajah Mada karya LKH ini diawali dengan kejadian hari saat Jayanegara dibunuh. Jayanegara adalah satu-satunya anak laki-laki Raden Wijaya dari istri kelimanya, yaitu Dara Petak. Mangkatnya Jayanegara membuat genting keadaan istana, terutama di pihak para ratu, yaitu Tribhuaneswari, Narendraduhita, Pradnya Paramita, Dyah Dewi Gayatri dan Dara Petak karena tidak ada lagi penerus laki-laki. Keadaan ini juga cukup membuat kalang kabut Gajah Mada dan bhayangkaranya.
Ternyata di hari-hari mangkatnya sang raja, di saat rembukan para ratu hendak memutuskan tahta istana jatuh kepada Sri Gitarja atau Dyah Wiyat, putri Raden Wijaya dari istri Dyah Dewi Gayatri terjadi hal-hal yang semakin genting, seperti pembunuhan dan keributan lain yang disimpulkan oleh Gajah Mada sebagai sebuah makar yang berakar dari sebuah konspirasi jangka panjang. Gajah Mada menemukan bahwa konspirasi tersebut masih terkait dengan pemberontakan Ra Kuti dan Ra Tanca dengan ditemukannya simbol ular membelit buah maja, pembunuhan dengan ular berbisa dan pembelotan-pembelotan beberapa anggota bhayangkara.
Sebelum Jayanegara dikremasi Sri Gitarja dan Dyah Wiyat dinikahkan dengan Cakradara dan Kudamerta. Pada saat upacara kremasi kembali terjadi huru-hara, Kudamerta nyaris terbunuh oleh lemparan pisau. Kondisi istana semakin kritis dengan kejadian tersebut hingga Gajah Mada meminta penundaan keputusan siapa yang akan naik tahta (Sri Gitarja atau Dyah Wiyat) hingga permasalahan politik yang ada dituntaskan.
Kondisi politik tersebut membawa kesimpulan bahwa suami sekar kedaton Sri Gitarja dan Dyah Wiyat yaitu Cakradara dan Kudamerta salah satu atau kedua-duanya memiliki ambisi naik tahta menjadi raja dengan menyingkirkan saingannya masing-masing.
Kejadian-kejadian penting terus berlangsung, pembunuhan, munculnya teka-teki, petunjuk-petunjuk, dan kejadian-kejadian lainnya membuat pusing Gajah Mada. Namun Gajah Mada dan kesatuan pasukan khusus bhayangkaranya perlahan-lahan memecahkan semua konspirasi perebutan tahta Majapahit tersebut, termasuk kemungkinan keterlibatan Ra Tanca meskipun ia sudah mati bersamaan dengan mangkatnya Jayanegara.
Sesuai catatan sejarah sejak kematian Jayanegara dibutuhkan waktu selama setahun untuk menunjuk siapa yang berhak menjadi ratu, dan atas saran Gajah Mada akhirnya Ratu Gayatri menunjuk kedua putrinya untuk memimpin negeri Majapahit.
Kisah yang ditulis oleh LKH menceritakan proses investigasi dan penyelesaian konspirasi yang terjadi antara ambisi Cakradara dan Kudamerta hingga lebih tuntas, termasuk keterlibatan Ra Tanca melalui petunjuk-petunjuk yang mengarah bahwa semua yang terjadi berkaitan dengan keahlian Ra Tanca. Apa saja teka-teki yang diselesaikan Gajah Mada? Tentunya banyak dan saling berkaitan, dan dalam buku tersebut LKH mengisahkan keahlian Gajah Mada sang Patih Daha dalam rentang waktu yang pendek (dalam beberapa hari sejak kematian Jayanegara) meskipun ditulis setebal 500 halaman lebih.
Benarkah aksi Ra Tanca (dan pendukungnya) hanya sampai Jayanegara terbunuh sedangkan Ra Tanca hanya meninggalkan seorang istri dan tidak punya pasukan? Siapakah yang meneruskan ambisi pemberontakan dengan simbol ular melilit buah maja tersebut?
Catatan Yang Mungkin TerkaitLangit Kresna Hariadi: Gajah Mada | Gajah Mada: Hamukti Palapa | Mahabharata dalam Pupuh Sunda | Dyah Pitaloka: Senja di Langit Majapahit | Gajah Mada: Perang Bubat | Sundapura: Tarumanagara, Sunda, Galuh, Pajajaran | Gajah Mada: Madakaripura Hamukti Moksa |
Perang BUBAT
Perang Bubat adalah perang yang terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit, Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada yang saat itu sedang melaksanakan Sumpah Palapa. Persitiwa ini melibatkan Mahapatih Gajah Mada dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat pada tahun 1357 M.
Pernikahan Hayam Wuruk
Peristiwa ini diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan raja Hayam Wuruk terhadap putri Citraresmi karena beredarnya lukisan putri Citraresmi di Majapahit yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, Sungging Prabangkara.
Namun catatan sejarah Pajajaran yang ditulis Saleh Danasasmita dan Naskah Perang Bubat yang ditulis Yoseph Iskandar menyebutkan bahwa niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Di mana Raden Wijaya yang menjadi pendiri kerajaan Majapahit adalah keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal yang bersuamikan Rakeyan Jayadarma menantu Mahesa Campaka. Rakeyan Jayadarma sendiri adalah kakak dari Rakeyan Ragasuci yang menjadi raja di Kawali. Hal ini juga tercatat dalam Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3. Di mana dalam Babad Tanah Jawi sendiri, Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pajajaran.
Dengan demikian Prabu Hayam Wuruk memutuskan untuk memperistri Dyah Pitaloka. Atas restu dari keluarga kerajaan, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar putri Citraresmi. Upacara pernikahan dilangsungkan di Majapahit. Sebenarnya dari pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri keberatan, terutama dari Mangkubuminya sendiri, Hyang Bunisora Suradipati karena tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Suatu hal yang dianggap tidak biasa menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu. Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik karena saat itu Majapahit sedang melebarkan kekuasaan (diantaranya dengan menguasai Kerajaan Dompu di Nusatenggara).
Namun Maharaja Linggabuana memutuskan tetap berangkat ke Majapahit karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Maharaja Hayam Wuruk sebenarnya tahu akan hal ini terlebih lebih setelah mendengar dari Ibunya sendiri Tribhuwana Tunggadewi akan silsilah itu. Berangkatlah Maharaja Linggabuana bersama rombongan ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat
Kesalahpahaman Gajah Mada
Mahapatih Gajah Mada (dalam tata negara sekarang disejajarkan dengan Perdana Menteri) menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat merupakan suatu tanda bahwa Negeri Sunda harus berada di bawah panji Majapahit sesuai dengan Sumpah Palapa yang pernah dia ucapkan pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta.
Gajah Mada mendapatkan jabatan Mahapatih atas karirnya militernya di Majapahit, beliau mengawali karirnya sebagai prajurit pada kesatuan pengawal kerajaan Bhayangkara yang merupakan pasukan elit Majapahit. Beliau mendesak Raja Hayam Wuruk untuk menerima Putri Citraresmi bukan sebagai pengantin tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan mengakui superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Maharaja Hayam Wuruk sendiri bimbang atas permasalah itu karena Gajah Mada adalah Mahapatih (Perdana Menteri) yang diandalkan Majapahit saat itu.
Gugurnya Rombongan Pengantin
Kemudian terjadi Insiden perselisihan antara utusan dari Maharaja Linggabuana dengan Mahapatih Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Mahapatih Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit bukan karena undangan sebelumnya. Namun Mahapatih Gajah Mada tetap dalam posisi semula.
Belum lagi Maharaja Hayam Wuruk memberikan putusannya, Mahapatih Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke pesanggrahan Bubat dan mengancam Maharaja Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Maharaja Linggabuana menolak tekanan itu, dan terjadilah peperangan yang tidak seimbang yang melibatkan Mahapatih Gajah Mada dengan pasukan yang besar dengan Maharaja Linggabuana dengan pasukan Balamati pengawal kerajaan yang berjumlah sedikit, bersama pejabat kerajaan dan para menteri yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Maharaja Linggabuana, para menteri dan pejabat kerajaan serta Putri Citraresmi.
Maharaja Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali-yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan perikahan antara maharaja Hayam Wuruk dengan putri Citraresmi-untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi Pejabat Sementara Raja Negeri Sunda serta menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil hikmahnya.
Namun akibat peristiwa Bubat ini (mungkin dalam dunia politik sekarang dikatakan Skandal Bubat), dikatakan dalam suatu catatan bahwa Hubungan Maharaja Hayam Wuruk dengan Mahapatihnya menjadi renggang. Gajah Mada sendiri tetap menjabat mahapatih sampai wafatnya (1364). Sementara akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan esti larangan ti kaluaran yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda. Sebagian lagi mengatakan yang dimaksud adalah larangan menikah dengan pihak timur negeri Sunda (Majapahit).
Sumber
- Yoseph Iskandar, “Perang Bubat”, Naskah bersambung Majalah Mangle, Bandung, 1987.
sekedar catatan: Kanjeng Gusti Putri ratu Dyah Phytaloka Citraresmi meninggal tidak dengan bunuh diri melainkan ikut bertempur dan berhasil melukai mahapatih Gajah mada, sehingga akibatnya pertempuran bertambah sengit, sebab Gajah Mada Berduel dengan sang Putri Dyah Phytaloka, meskipun akhirnya gugur, Sang Putri berhasil melukai Tubuh gajah mada dengan Keris Singa barong berlekuk 13 Keris leluhur Pasundan peninggalan pendiri kerajaan tarumanegara, yang bernama, Prabu Jayasinga Warman. akibat luka itu, Gajah Mada menderita sakit yang tidak Bisa disembuhkan, dan akhirnya meninggal.
12 Desember 2008
17 PUPUH SUNDA
Pupuh 1: Asmarandana
Watek: silih asih silih pikanyaah atawa mepelingan.
Eling eling mangka eling ( 8 -i )
rumingkang di bumi alam( 8 – a )
darma wawayangan bae ( 8 – e )
raga taya pangawasa ( 8 – a )
lamun kasasar lampah ( 7 – a )
nafsu nu matak kaduhung ( 8 – u )
badan anu katempuhan ( 8 – a )
Panambih:
Eling-eling masing eling
Di dunya urang ngumbara
Laku lampah nu utama
Asih ka papada jalma
Ucap tekad reujeung lampah
Tingkah polah sing merenah
Runtut rukun sauyunan
Hirup jucung panggih jeung kamulyaan
Pupuh 2: Balakbak
Laras: Madenda
Watek: pikaseurieun
1 pada := 3 padalisan.
Aya warung sisi jalan rame pisan – Citameng(15-e)
Awewena luas luis geulis pisan – ngagoreng (15-e)
Lalakina lalakina los ka pipir nyoo monyet – nyanggereng (19-e).
Panambih:
Aya warung sisi jalan
Rame pisan ku nu jajan
Tihothat nu ngaladangan
Nu jarajan sukan-sukan
Laras: Pelog, Sorog
Mega beureum surupna geus burit
Ngalanglayung panas pipikiran
Cikur jangkung jahe koneng
Naha teu palay tepung
Sim abdi mah ngabeunying leutik
Ari ras cimataan
Gedong tengah laut
Ulah kapalang nya bela
Paripaos gunting pameulahan gambir
Kacipta salamina
Panambih:
Hiji basa, hiji bangsa
Basa bangsa, Indonesia
Hiji bangsa, hiji nusa
Nusa tunggal, Nusantara
Seler-seler, suku bangsa
Di wewengkon, mana-mana
Sakasuka, sakaduka
Wujud bangsa, Indonesia
Pupuh 4: Durma
Laras: Pelog
Watek: bingung, samar polah atawa tambuh laku.
1 Pada := 5 padalisan.
Moal ngejat sanajan ukur satapak
Geus dipasti ku jangji
Mun tacan laksana
Numpes musuh sarakah
Heunteu niat seja balik
Najan palastra
Mati di medan jurit
Panambih:
Di mamana si penjajah
Pada amarah marudah
Manan kapok anggur gawok
Najan dituyuk diragut
Nagri sadayana
Umumna ngabela
Nyempad rosa, pulitik penjajah
Tapi nu ngajajah
Teu pasrah, teu sadrah
Terus meres, ngahina ngarinah
Pupuh 5: Gambuh
Laras: Pelog
Watek: pangangguran, lulucon atawa tamba kesel.
1 Pada := 8 Padalisan.
Ngahuleng banget bingung ( 7 – u )
henteu terang ka mana ngajugjug ( 10 – u )
turug turug harita teh enggeus burit ( 12 – i )
panon poe geus rek surup ( 8 – u )
keueung sieun aya meong ( 8 – o )
Ngahuleng banget bingung
Heunteu terang kamana nya indit
Turug-turug harita teh, enggeus burit
Panonpoe geus rek surup
Keueung sieun, aya meong
Panambih:
Hulang-huleng, hulang-huleng
Ngahuleng ngaraga meneng
Hate ratug, tutunggulan
Heunteu terang, kaler-kidul
Turug-turug, turug-turug
Harita teh, enggeus burit
Panonpoe geus rek surup
Keueung sieun aya meong
Pupuh 6: Gurisa
Laras: Salendro
Hayang teuing geura beurang ( 8 – a )
geus beurang rek ka Sumedang ( 8 – a )
nagih anu boga hutang (8 – a )
mun meunang rek meuli soang ( 8 – a )
tapi najan henteu meunang ( 8 – a )
teu rek buru buru mulang ( 8 – a )
rek tuluy guguru nembang ( 8 – a )
jeung diajar nabeuh gambang ( 8 – a)
Hayang teuing geura beurang
Geus beurang rek ka Sumedang
Nagih ka nu boga hutang
Mun meunang rek meuli soang
Tapi najan henteu meunang
Mo rek buru-buru mulang
Rek terus guguru nembang
Jeung diajar nabeuh gambang
Panambih:
Hayang teuing geura beurang
Geus beurang rek ka Sumedang
Nagih ka nu boga hutang
Mun meunang rek meuli soang
Tapi najan henteu meunang
Mo rek buru-buru mulang
Rek terus guguru nembang
Jeung diajar nabeuh gambang
Pupuh 7: Jurudemung
Laras: Pelog Liwu
Mungguh nu hirup di dunya
Ku kersaning anu agung
Geus pinasti panggih
Jeung dua rupa perkara
Senang paselang jeung bingung
Panambih:
Mungguh hirup di alam dunya
Ku kersaning anu agung
Geus pinasti bakal panggih
Suka bungah jeung kasedih
Dua rupa nu tumiba
Sakabeh jalma di dunya
Senang patumbu jeung bingung
Eta geus tangtu kasorang
Pupuh 8: Kinanti
Laras: Pelog/Salendro
Watekna: miharep atawa prihatin.
1 Pada := 6 Padalisan
kembang ros ku matak lucu ( 8 – u )
nya alus rupa nya seungit ( 8 – i )
henteu aya papadana ( 8 – a )
ratuning kembang sajati ( 8 – i )
papaes di patamanan ( 8 – a )
seungit manis ngadalingding ( 8 – i )
Budak leutik bisa ngapung
Babaku ngapungna peuting
Nguriling kakalayangan
Neangan nu amis-amis
Sarupaning bungbuahan
Naon bae nu kapanggih
Panambih:
Ari beurang ngagarantung
Pinuh dina dahan kai
Disarada patembalan
Nu kitu naon ngaranna
Pupuh 9: Lambang
Laras: Salendro
Watek: banyol atawa pikaseurieun.
Unggal Pada diwangun ku opat Padalisan.
Nawu kubang sisi tegal ( 8 – a )
nyair bogo meunang kadal ( 8 – a )
atuh teu payu dijual ( 8 – a )
rek didahar da teu halal ( 8 – a )
Panambih:
Nawu kubang sisi tegal
Nyiar bogo meunang kadal
Nawu kubang sisi tegal
Nyiar bogo meunang kadal
Atuh teu payu dijual
Rek didahar da teu halal
Nawu kubang sisi tegal
Nyiar bogo meunang kadal
Meunang kadal
Atuh teu payu dijual
Rek didahar da teu halal
Da teu halal
Pupuh 10: Magatru
Laras: Madenda
Majalaya, Ciparay, Banjaran, Bandung
Kopo reujeung Cisondari, Cicalengka, Ujung Berung
Rajamandala, Cimahi
Leles, Limbangan, Tarogong
Panambih:
Sukuna pakepit tilu
Panonna opat harerang
Leumpangna semu nu lesu
Ngalengkah teu bisa gancang
Pupuh 11 : Maskumambang
Duh manusa mana kaniaya teuing
teu aya rasrasan
abong ka mahluk nu laip
nyiksa henteu jeung aturan
Hulu abdi karaosna langkung nyeri
tulang asa bejad
tanduk mah pon kitu deui
taya raoskeuneunnana
Na dikinten abdi mo ngarasa nyeri
pedah kabisan
tapi yaktosna mah abdi
ngan bakating kumawula
Oge margi anjeun rupina ka abdi
miwarang jeung maksa
buktina disina jurit
kalawan jeung dihatean
Pileuleuyan dunya pisah sareng abdi
moal bisa panjang
abdi ningal bumi langit
rek mulang ka kalanggengan
Pupuh 12: Mijil
Laras: Pelog
Mesat ngapung putra Sang Arimbi
Jeung mega geus awor
Beuki lila beuki luhur bae
Larak-lirik ninggali ka bumi
Milari sang rai
Pangeran Bimanyu
Panambih:
Aduh Gusti nu Kawasa
Jisim abdi ageung dosa
Pangna abdi gering nangtung
Reh ka sepuh wantun nundung
Pupuh 13: Pangkur
Laras: Salendro
Watek: nafsu, lumampah atawa sadia rek perang.
Unggal Pada diwangun kutujuh Padalisan.
Seja nyaba ngalalana ( 8 – a )
ngitung lembur ngajajah milang kori ( 12 – i )
henteu puguh nu dijugjug ( 8 – u )
balik paman sadaya ( 7 – a )
nu ti mana tiluan semu rarusuh ( 12 – u )
Lurah Begal ngawalonan ( 8 – a )
“Aing ngaran Jayapati”( 8 – i )
Panambih:
Euleuh itu budak gembul
Awak gembru bayuhyuh gawena kedul
Ukur heuay jeung nundutan
Ka sakola unggal poe kabeurangan
He barudak tong nurutan
Ka nu gembul kokomoan
Bisi kedul jeung ogoan
Awal akhir katempuhan
Pupuh 14: Pucung
Laras: Salendro
Watekna piwuruk, wawaran, atawa mepelingan.
Unggal Pada diwangun ku opat Padalisan.
Estu untung nu bisa mupunjung indung ( 12 – u )
jeung nyenangkeun bapa ( 6 – a )
tanda yen bagjana gede ( 8 – e )
hitup mulus kaseundeuhan ku berekah ( 12 – a )
Lutung buntung luncat kana tunggul gintung
Monyet loreng leupas
luncat kana pager dengdek
Bajing kuning jaralang belang buntutna
Panambih:
Hayu batur urang diajar sing suhud
Ulah lalawora bisi engke henteu naek
Batur seuri urang sumegruk nalangsa
Pupuh 15: Sinom
Laras: Madenda
Watekna gumbira.
Unggal Pada diwangun ku salapan Padalisan.
Di wetan fajar balebat ( 8 – a )
panon poe arek bijil ( 8 – i )
sinarna ruhay burahay ( 8 – a )
kingkilaban beureum kuning ( 8 – i )
campur wungu saeutik ( 7 – i )
kaselapan semu biru ( 8 – u )
tanda Batara Surya ( 7 – a )
bade lumungsur ka bumi ( 8 – a )
murub mubyar langit sarwa hurung herang ( 12 – a )
Panambih:
Harta pada nareangan
Harti pada narabahan
Harta harti sarwa guna
Pada bisa mere bukti
Bisa hasil sapaneja
Sok nyumponan cita-cita
Harta harti song mangpaat
Dapon diraksa taliti
Pupuh 16: Wirangrong
Barudak mangka ngalarti
Ulah rek kadalon-dalon
Enggon-enggon nungtut elmu
Mangka getol mangka tigin
Pibekeleun sarerea
Modal bakti ka nagara
Panambih:
He barudak mangka ngarti
Ulah rek kadalon-dalon
Nungtut elmu jeung pangarti
Masing rajin soson-soson
Pibekeleun hirup tandang
Modal bakti ka nagara
Lemah cai anu urang
Perlu dijaga dibela
Pupuh 17: Ladrang
Aya hiji rupa sato leutik
Engkang-engkang, engkang-engkang
Sok luluncatan di cai
Ari bangun arek sarupa jeung lancah
Panambih:
Coba teguh masing telik
Eta gambar sidik-sidik
Sato naon kitu wanda
Reujeung dimana ayana
http://jamparing.sytes.net
Bahasa Sunda di Kalangan Generasi Muda
Berkurangnya penggunaan bahasa Sunda disebabkan adanya pergeseran paradigma di kalangan generasi penutur asli saat ini. Masyarakat sering kali merasa gengsi berbahasa ibu (Sunda), dan sebaliknya lebih nyaman jika menggunakan bahasa asing atau serapannya.
Pelestarian bahasa ibu harusnya dimulai dari rumah. Sebab, inilah lingkungan yang terdekat. Yang menjadi soal, sering kali si ibu justru enggan atau tidak membiasakan diri mengobrol dengan anak menggunakan bahasa daerahnya.
Dewasa ini peran keluarga mengajarkan bahasa Sunda mulai jarang dilakukan. Meskipun dalam satu keluarga dan orangtuanya asli Sunda, kebiasaan menuturkan bahasa Sunda semakin jarang dilakukan. Alasan yang paling banyak dilontarkan, mereka takut anaknya kesulitan bergaul di sekolah.
Selain keluarga, pemerintah, dalam hal ini Dinas Pendidikan Jawa Barat, harus bekerja keras. Metode pembelajaran bahasa Sunda jauh dari harapan. Salah satunya, perhatian terhadap sumber daya manusia. Mayoritas guru bahasa Sunda di banyak sekolah bukan berasal dari pendidikan bahasa Sunda. Bahkan, karena dianggap tidak penting, guru Olahraga pun sering kali merangkap guru Bahasa Sunda karena bisa berbicara Sunda.
Ironisnya, masyarakat dari negara lain justru tertarik mendalami bahasa ini. Ini terbukti dari banyaknya disertasi atau penelitian mahasiswa asing yang bertopik bahasa dan sastra Sunda. Misalnya, Mikihiro Moriyama dari Jepang yang meneliti bahasa dan kesusastraan Sunda abad ke-19. Kuatnya pengaruh budaya pop yang terfragmen di dalam siaran televisi dan radio kian memperburuk kondisi.
Jangan sampai terjebak dalam ketakutan. Selalu ada jalan dan kreativitas melestarikan bahasa Sunda.
Kalau bukan oleh kita sebagai orang Sunda sendiri, lalu siapa lagi??
Sanes kitu lur!!
KAULINAN JAMAN BAHEULA
Salah sahiji nu matak nineung nyeta rupa kaulinan nu kajamanan ku sim kuring di sisi lembur , yu urang pedar, itung-itung ngubaran kasono sareng nuliskeun tapak geusan turunkeuneun ka barudak...
ari dulur-dulur sadayana masih keneh emut teu kana kaulinan jaman baheula ???
alhamdulillah kuring mah ngalaman, bari jeung sakeudeung oge, beda jeung kaulinan barudak jaman ayeuna anu geus malodern, saperti pees, sega, vidio gim, jeung sajabana.
yeuh ayeuna urang balik deui ka waktu harita, saeutik diantarana kaulinan nu ku kuring kaalaman. ucing sumput atawa ucing pancakan, engkle, boy-boyan, ngadu gambar, ngadu kaleci, ngadu karet, gartik, sorodot gaplok, momobilan tina awi, jujungkungan, atawa jinis kaulinan usum-usuman, saperti bedil lodong keur usum puasa, langlayangan keur usum angin gede.
biasana kaulinan eta raramena lamun keur udum halodo pasosore.
wah loba pisan euy, paroho deui sawarehna mah!!!!
sok atuh saha nu masih keneh inget??
1. Ucing sumput atawa ucing pancakan
Ucing kudu cicing dina hiji tanda nu geus ditangtukeun bari meungpeung ngitung nepi ka 10. Nu sejen lalumpatan nyumput. Si ucing kudu neangan pamaen lain bari ngajagaan tanda ulah nepi ka ditijek ku nu sejen. Lamun nu nyumput kapanggih ucing bakal nyebut Hong . Lamun pamaen lain nijek tanda, ngabongohan si ucing, kudu nyebut pancakan.
2. Sorodot gaplok
Alat; kenteng laleutik jeung Bal Kasti (biasana palastik digulung2 terus ditalian)
Kenteng sababaraha siki disusun kaluhur, terus dibaledog ku bal kasti, waktu kenteng acak-acakan, pamaen lalumpatan ngajauhan, sedengkeun si ucing nyusun deui eta kenteng. Tah saterusna si Ucing ngupayakeun maledog pamaen lain ku bal kasti lamun keuna, pamaen tadi teu bisa maen deui. Si Ucing kudu maledogkeun deui balna ka pamaen2 sejen nepi ka beresna, bari ngajagaan si kenteng ulah nepi ka acak-acakan deui. Tah pamaen sejen bisa ngabongohan si ucing najong eta kenteng nepi ka acak-acakan deui, nu hartina si ucing bakal terus jadi ucing nu disebut dikere.
3. Engkle
Nyieun gambar husus dina taneuh mangrupa dua jajar pasagi opat atawa nu bentukna iimahan, aya nu disebut gunung, dimana dieta tempat pameun bisa ninceukeun dua sukuna. Di tempat lain mah acleng2an ku hiji suku (hopscotch mun basa inggris mah, mun dina basa indonesia naon nya?)
Engkle ieu, pamaenna dibagi 2 grup. Maenna dimimitian ku nunda kenteng dina tempat nu mimiti diliwatan (duh naon nya istilahna? hilap deui tuluuuungggg), tah terus tempat eta diajlengan.
4. Cacaburange
Nu jadi ucing, kudu tapak deku (sujud) tonggongna dipake tempat ku pamaen sejen keur ngalaksanakeun kaulinanna. Carana, batu leutik dikurilingkeun bari nembang, laguna kieu
caca burange burange tali gobang,
gobang pancarange anak gajah tulalean
Jing gojing lewe lewe
jing gojing lewe lewe
Tah pas dina kecap lewe lewe batu geus aya dina keupeulan salah sahiji pamaen. Si ucing kudu neguh dimana ayana eta batu. Lamun kateguh berarti nu nyepeng batu jadi ucing, lamun teu kateguh si ucing tetep jadi ucing.
5. Pangpring
Pamaen ngajajar bari nangunjar. Terus ngalagu, bari masing2 suku pamaen ditepakan giliran. Ieu tembangna;
Pangpring pangpring sabulu bulu gading
gadingna semu peurah tikukur diadu
semplak gadona dikurungan ku si kica
si kica gede hutangna
dugel mintel hiji...
Suku nu katepak pas dina kecap mintel hiji, kudu mintel...terus kitu nepi ka kabeh suku nu ditepakan mintel...
Eta diantarana kaulinan sim kuring jaman baheula keur busdak...teu kakumpulkeun sadayana dina implengan sim kuring. Biasana masing2 daerah di taneuh sunda ngabogaan rupa kaulinan nu mirip, ngan sesebutan jeung tembangna nu beda.